Judul Artikel : Energy Saving May Kill: Evidence from the Fukushima Nuclear Accident
Peneliti : Guojun He dan Takanao Tanaka
Tahun Terbit : 2023
Jurnal : American Economic Journal: Applied Economics
Diulas oleh Gracena Sesilia Marde Fitria
Latar Belakang
Penelitian selama beberapa dekade telah menunjukkan bahwa perubahan iklim dapat mengancam keberlangsungan lingkungan, produksi pertanian, kesehatan manusia, dan, yang lebih parah, menyebabkan kematian (lihat Dell et al., 2014; IPCC, 2014; Carleton dan Hsiang, 2016; dan Auf Hammer, 2018). Dalam upaya mengatasi risiko perubahan iklim, terdapat dua strategi utama, yaitu 1) mengurangi emisi gas rumah kaca yang terkait dengan generasi (pembangkit) dan konsumsi energi serta 2) beradaptasi dengan perubahan iklim. Namun, dilema muncul saat pengurangan konsumsi energi memengaruhi pola adaptasi perubahan iklim yang berdampak pada kesehatan manusia. Salah satu insiden yang berdampak besar terhadap risiko kesehatan manusia adalah kampanye hemat energi skala besar yang menghentikan seluruh operasi pembangkit nuklir akibat adanya bencana pada tahun 2011 di Fukushima, Jepang. Target penghematan energinya adalah pengurangan konsumsi listrik di setiap prefektur (provinsi) yang persenannya disesuaikan dengan ketergantungan penggunaan listrik mereka. Hal ini dapat dicapai melalui perubahan suhu penggunaan AC (suhu 28°C pada hari panas), mendorong masyarakat untuk menggunakan kipas angin sebagai pengganti AC, dan peningkatan harga listrik. Sayangnya, hal ini justru menyebabkan masyarakat harus menghadapi risiko kesehatan (misalnya dehidrasi dan heat stroke) yang memicu kematian ketika musim ekstrem karena mereka tidak dapat beradaptasi dengan suhu yang ekstrem pula.Beberapa literatur sebelumnya telah meneliti hubungan suhu dan kesehatan serta membahas peran adaptasi (lihat Heutel et al., 2021; Burgess et al., 2017; Carleton et al., 2020; Geruso and Spears, 2018). Namun, mayoritas penelitian hanya menganalisis faktor internal (kebiasaan individu, kesadaran mengenai pentingnya menghemat energi) sehingga analisis kausalitas antara penghematan energi dan kesehatan tidak akan dapat membedakan antara efek penghematan energi itu sendiri dan efek dari karakteristik orang-orang yang menghemat energi. Selanjutnya, penelitian Neidell et al. (2021) secara spesifik juga pernah membahas mengenai pengaruh bencana nuklir ketika insiden Fukushima terhadap kesehatan. Akan tetapi, mereka hanya berfokus meneliti dampak dari perubahan harga listrik sehingga tidak ditemukan pengaruh yang signifikan antara suhu-kesehatan dan adaptasi terkait pada cuaca ekstrem khususnya musim panas. Oleh karena itu, penelitian ini oleh He, G., & Tanaka, T. (2023) mencoba untuk meneliti kembali konsekuensi dari bencana nuklir melalui kampanye hemat energi terhadap kematian. Dilihat dari perubahan adaptasi suhu di musim-musim ekstrem menggunakan data panel (fixed effect) dengan mempertimbangkan faktor-faktor eksogen (variasi yang diluar kendali) dan tidak hanya berfokus pada aspek perubahan harga melainkan keseluruhan aspek serta akan melihat efeknya pada agregasi umur.
Data
Data yang digunakan dalam penelitian ini mewakili lima komponen penting. Pertama adalah Electricity-Saving Target Data yang menyajikan target pengurangan konsumsi listrik di setiap prefektur pada periode 2011-2015 dari komite Electricity Supply-Demand Verification di setiap awal musim panas. Kedua adalah Mortality Data yang dikumpulkan dari Statistik Vital dan dilaporkan oleh Kementrian Kesehatan, Tenaga Kerja, dan Kesejahteraan Japan (MHLW), yang mencakup kematian berdasarkan seluruh populasi Jepang (per 100.000 jiwa) periode 2008-2015. Ketiga, data penggunaan ambulans akibat heatstroke (pingsan karena panas), sebuah penyakit yang disebabkan oleh tekanan panas secara langsung. Data ini disediakan oleh Fire and Disaster Management Agency periode 2008 pada tingkat prefektur-tahun-bulan. Keempat,, data mitigasi kerusakan iklim yang dikumpulkan dalam tiga variabel yang berbeda, yaitu Google Trend untuk “energy-saving (Setsuden dalam bahasa Jepang)”, tingkat penetrasi AC, dan pengeluaran untuk alat pendingin lainnya (seperti kipas angin) dari survei Family Income and Expenditure. Kelima, data cuaca yang diperoleh dari Badan Meteorologi Jepang di mana mencakup informasi cuaca real-time di seluruh Jepang yang dikumpulkan melalui Automated Meteorological Data Acquisition System.
Metodologi
Kampanye penghematan energi dalam skala besar di Jepang dapat menyebabkan kerusakan kesehatan yang signifikan karena membatasi kapasitas individu untuk beradaptasi dengan cuaca ekstrem. Untuk menyelidiki dampaknya, peneliti memulai dengan mengukur fungsi respons suhu-kematian mengikuti Barreca et al. (2016) dan Carleton et al. (2020).

di mana Yaiym adalah tingkat kematian (mortality rate) untuk kelompok usia (age group: 0-19, 20-64, diatas 65) di prefektur i pada bulan tahun yang bersangkutan (year month). TBiniymkl adalah jumlah hari pada bulan tertentu di prefektur i pada tahun tertentu yang masuk kedalam kategori suhu ke-k. Xiym adalah variabel kontrol yang dapat memengaruhi tingkat kematian, seperti polusi udara dan kelembapan dan aiym.
Karena tiap prefektur pastinya memiliki karakteristik yang berbeda, peneliti menggunakan fixed effect model yang dilambangkan dengan beta aim + teta aym + miu aiy untuk mengontrol perbedaan tadi. aimadalah prefecture-by-month fixed effects yang menghitung faktor-faktor tetap yang mempengaruhi tingkat kematian di setiap kabupaten pada setiap bulan, seperti fluktuasi musiman pada tingkat kematian. aym adalah year-by-month fixed effects yang digunakan untuk memperhitungkan faktor-faktor kejutan yang terjadi pada setiap periode waktu, tetapi mempengaruhi semua kabupaten, seperti kebijakan kesehatan nasional dan kondisi ekonomi makro. aiy adalah prefecture-by-year fixed effects yang digunakan untuk menghitung faktor-faktor tidak terobservasi yang terjadi di setiap kabupaten setiap tahunnya, seperti kondisi ekonomi lokal.
Selanjutnya, untuk hasil yang lebih akurat, peneliti mempertimbangkan interaksi antara suhu dan waktu dengan memasukkan suhu bulan sebelumnya sebagai variabel prediktor dan memperhitungkan efek suhu ekstrem pada kelompok umur yang berbeda dalam analisis mereka.

Peneliti juga mengikutsertakan variabel interaksi antara target penghematan energi di prefektur i pada bulan-tahun ym dan suhu dalam rentang tertentu. Interaksi ini memberikan informasi apakah penghematan energi dapat memengaruhi hubungan antara suhu dan kematian dengan mengurangi daya tahan tubuh manusia terhadap suhu ekstrem.
Hasil
Dampak Suhu pada Kematian di Jepang

Panel A pada Tabel 2, peneliti menunjukkan hasil dari model tersebut yang menunjukkan bahwa hubungan suhu-kematian berbentuk U, di mana pada suhu dingin tingkat kematian lebih tinggi dibandingkan pada suhu panas. Seorang individu rata-rata di Jepang memiliki risiko kematian 4-5 kali lebih tinggi pada hari-hari dingin dibandingkan hari-hari panas. Selain itu, penelitian ini menunjukkan bahwa suhu yang sangat dingin, yaitu di bawah 0°C, dan suhu antara 0-5°C, memiliki dampak yang lebih signifikan terhadap kematian dibandingkan suhu di atas 30°C.
Interaksi antara Variasi Suhu dan Target Hemat Energi

Selanjutnya, menggunakan Persamaan (2), Panel B mengindikasikan bagaimana target hemat energi mempengaruhi fungsi respons suhu-kematian dimana koefisien positif menunjukkan bahwa hemat energi memperkuat dampak negatif suhu dalam setiap bin (klasifikasi rentang suhu). Penelitian ini menemukan bahwa kampanye hemat energi meningkatkan risiko kematian ketika cuaca sangat panas dan sangat dingin, dan efeknya sangat besar selama hari terpanas (di atas 30 °C).

Hasil ini juga dapat dilihat dalam Gambar 3 di mana kampanye hemat energi (target 8,2%) menyebabkan masyarakat menjadi lebih rentan terhadap cuaca panas, terlihat dari sisi kanan kurva yang lebih curam. Dalam analisis kumulatif, risiko kematian pada suhu 25-30°C meningkat dari 0,038 menjadi 0,102 setelah kampanye, dan pada suhu di atas 30°C meningkat dari 0,093 menjadi 0,245. Artinya, risiko kematian akibat panas meningkat tiga kali lipat setelah kampanye hemat energi besar-besaran.
Dampak Suhu pada Kematian dalam Tiga Kelompok Usia yang Berbeda
Pada penelitian sebelumnya, telah terbukti bahwa orang tua lebih rentan terhadap dampak cuaca ekstrem (Deschênes dan Greenstone, 2011; Carleton et al., 2020). Hal ini juga terbukti dalam Tabel 2 kolom (4) – (5) di mana risiko kematian pada orang lanjut usia (di atas 65 tahun) meningkat secara signifikan ketika mereka terpapar cuaca yang sangat dingin atau panas sedangkan pada kelompok usia 0-19 tahun dan 20-64 tahun tidak signifikan. Hasilnya, diperkirakan ada sekitar 7.710 kematian prematur setiap tahun, yang merupakan 0,7% dari total kematian, yang mungkin disebabkan oleh kebijakan penghematan energi. Penting untuk dicatat bahwa sekitar 60% (sekitar 4.500-5.000) dari kematian prematur tersebut terjadi selama musim panas.
Penghematan Energi dan Respons Perilaku

Untuk lebih mengerti bagaimana pengaruh kampanye hemat energi pada perilaku adaptif masyarakat dan tingkat kesehatan, pada Tabel 3, peneliti memeriksa bagaimana respon masyarakat. Hasilnya menunjukkan bahwa target hemat energi yang lebih tinggi meningkatkan indeks pencarian Google Trend untuk “hemat energi” sebanyak 16,06. Dengan target hemat energi rata-rata sebesar 8,20%, peneliti memperkirakan bahwa kampanye hemat energi meningkatkan indeks pencarian sebesar 13,16, yang signifikan dibandingkan dengan rata-rata (11,0). Selain itu, peneliti juga mengeksplorasi kepemilikan AC dan perilaku pembelian perangkat pendingin non-AC dan mengkonfirmasi bahwa kampanye penghematan energi memang mengurangi tingkat penetrasi AC dan meningkatkan pembelian perangkat pendingin non-AC sehingga dimungkinkan menyebabkan penurunan resistensi terhadap panas ekstrem dan meningkatkan jumlah kematian terkait panas seperti heatstroke selama musim panas.
Dekomposisi Pengurangan Konsumsi Listrik

Terakhir, Tabel 5 membahas faktor-faktor apa yang mendorong masyarakat untuk mengubah perilaku mereka setelah terjadi kecelakaan nuklir. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kampanye hemat energi memiliki pengaruh besar dalam mengurangi konsumsi listrik per kapita di Jepang selama musim panas (14,3%), musim dingin (5,9%), dan musim semi/gugur (11%). Meskipun ada kenaikan harga listrik sebesar 16,8% setelah kecelakaan ketika musim panas, namun hanya 10 – 30% dari total penurunan konsumsi listrik yang dapat dijelaskan oleh perubahan harga. Artinya, insentif non-keuangan memainkan peran besar dalam mendorong penghematan listrik selama krisis tersebut. Ini juga menjawab mengapa penelitian sebelumnya, Neidell et al.(2021) menemukan bahwa kenaikan harga listrik hanya berdampak pada mortalitas akibat dingin di musim dingin, dan tidak berdampak pada mortalitas akibat panas di musim panas. Selain karena fokus yang berbeda (mereka hanya fokus pada perubahan harga), pengaturan eksperimen, dan skala harga listrik yang didesain juga berbeda.
Diskusi
Untuk memastikan lebih lanjut bagaimana implikasi dari kampanye ini, peneliti juga melakukan cost and benefit analysis. Menggunakan konsep Nilai Kehidupan Statistik (Value of Statistical Life/VSL) terhitung bahwa jumlah kerugian secara ekonomi dari kematian pada kelompok lanjut usia yang memiliki tingkat harapan hidup sekitar 13,88 tahun (16,72%) sebesar 10,31 miliar USD setiap tahun dari 2011 hingga 2015. Selain biaya kesehatan, pengurangan konsumsi listrik bisa menjadi sumber kerugian kesejahteraan lainnya. Individu tidak dapat mengkonsumsi sebanyak yang mereka inginkan, baik karena moral suasion atau harga listrik yang lebih tinggi. Meskipun sulit untuk memperkirakan perubahan kesejahteraan, selama kampanye hemat energi, total konsumsi listrik nasional berkurang sebesar 84,09 miliar kWh setiap tahunnya, yang setara dengan 15,70 miliar USD setiap tahun (diukur dengan dolar 2010).
Kampanye hemat energi sulit dimonetisasi karena fokus utamanya adalah menghindari pemadaman listrik sehingga hanya pengurangan emisi karbon yang dapat diukur. Diperkirakan kampanye ini mengurangi emisi CO2 sebesar 0,043 miliar ton setiap tahunnya, setara dengan 3,4% dari total emisi karbon nasional. Biaya sosial karbon sebesar 44,2 USD/ton (dolar 2010) akan menghasilkan manfaat sebesar 1,91 miliar USD (dolar 2010). Namun, jika menggunakan biaya sosial karbon sebesar 108,7 USD/ton (dolar 2010) yang lebih agresif, manfaat yang dihasilkan dapat mencapai 4,70 miliar USD (dolar 2010).
Secara sederhana, jika kita membandingkan manfaat pengurangan emisi karbon yang dihasilkan dari penghematan energi dan biaya kesehatan yang timbul akibat penghematan energi tersebut, maka biayanya jauh lebih tinggi daripada manfaatnya. Meskipun perbandingan ini sangat sederhana dan bergantung pada banyak asumsi yang mendasar, namun hal ini menunjukkan bahwa biaya kesehatan yang muncul akibat penghematan energi sangat besar.
Kesimpulan
Penelitian ini menunjukkan bahwa kebijakan hemat energi dapat membahayakan kesehatan manusia. Saat konsumsi energi dikurangi, masyarakat lebih rentan terhadap cuaca ekstrem yang dapat mengakibatkan kematian dini. Kampanye hemat energi di Jepang setelah kecelakaan nuklir Fukushima mengurangi penggunaan pendingin udara dan menggantinya dengan alternatif seperti kipas. Namun, pengurangan penggunaan pendingin udara dapat meningkatkan risiko kematian terkait suhu ekstrem, terutama pada orang tua. Pengurangan dan penurunan integrasi AC serta kipas bisa dipacu oleh peningkatan harga dan Insentif non-pecuniary.
Penelitian ini menyoroti biaya yang terabaikan dalam menghemat energi, terutama dalam diskusi dan pelaksanaan kebijakan iklim. Temuan ini menunjukkan bahwa penurunan konsumsi listrik dapat berdampak buruk pada kesehatan manusia, terutama pada orang tua. Pelajaran dari Jepang dapat lebih relevan bagi negara-negara berpenghasilan rendah dan menengah yang lebih rentan terhadap dampak cuaca ekstrem dan kurang akses teknologi seperti pendingin udara. Diperlukan penelitian lebih lanjut untuk memahami bagaimana menyeimbangkan antara adaptasi iklim dan penghematan energi.