Climate Shocks and Religious Adherence in Afghanistan
Judul Artikel : Measuring Religion from Behavior: Climate Shocks and Religious Adherence in Afghanistan
Penulis : Oeindrila Dube, Joshua Blumenstock, Michael Callen
Tahun : 2022
Jurnal : National Bureau of Economic Research
Penerbit : NBER Working Paper Series
Latar Belakang
Agama memainkan peran mendasar dalam masyarakat manusia. Agama membentuk norma dan nilai budaya, memengaruhi organisasi kelompok sosial, dan menentukan kontur kekuatan politik dan ekonomi (Becker, Rubin, dan Woessmann, 2021; Berman, 2000). Namun, tujuan penelitian ini adalah mengetahui pengetahuan tentang apa yang mendorong orang untuk menjadi religius atau mengikuti praktik keagamaan.
Kepatuhan beragama sulit dipelajari karena sulit diukur. Sebagian besar studi yang berfokus pada agama dalam ekonomi mengandalkan pengukuran berbasis survei (Iannaccone, 1998; McCleary dan Barro, 2006). Namun, survei memiliki beberapa kelemahan: survei biasanya jarang dilakukan dan dengan cakupan geografis yang cukup sedikit, dan dalam beberapa kondisi seperti lingkungan yang tidak aman (wilayah konflik) sehingga sulit dilakukan penelitian. Selain itu, survei menggunakan preferensi masyarakat yang langsung dinyatakan kepada peneliti untuk menjadi sampel variabel.
Penelitian ini menyajikan pendekatan baru untuk mengukur kepatuhan beragama dan mengilustrasikan potensinya dengan menggunakannya untuk mempelajari determinan ekonomi religiositas di Afghanistan. Pada bagian pertama, peneliti menerapkan dan memvalidasi pendekatan pengukuran ini menggunakan data ponsel anonim dari salah satu operator ponsel terbesar di Afghanistan. Dalam konteks ini, kami mengukur ketaatan beragama berdasarkan sejauh mana penurunan volume seruan selama jendela sholat magrib (maghrib dip). Relevansi ukuran ini bergantung pada norma Islam yang kuat bahwa berbicara dengan orang lain termasuk di telepon yang secara luas dianggap membatalkan shalat.
Setelah mengembangkan intuisi untuk mencelupkan Maghrib ini, kami memvalidasinya sebagai ukuran ketaatan beragama menggunakan dua pendekatan berbeda. Pertama, kami memberikan bukti bahwa individu yang mengaku lebih religius cenderung mengurangi penggunaan telepon/menggunakan handphone selama jendela Maghrib. Kedua, kami menunjukkan bahwa variasi geografis maghrib dip di seluruh Afghanistan berkorelasi dengan data yang ada terkait dengan norma-norma agama.
Di bagian utama kedua penelitian ini, peneliti menggunakan ukuran baru ini untuk mempelajari dampak kesulitan ekonomi terhadap ketaatan beragama. Contoh empiris ini dimaksudkan untuk mengilustrasikan potensi pengukuran, dan juga untuk menjelaskan pertanyaan yang penting dan ambigu secara konseptual. Di satu sisi, perubahan ekonomi yang merugikan dapat menurunkan ketaatan beragama dengan menguji keimanan orang, terutama jika keyakinan sejalan dengan harapan bahwa Tuhan dapat melindungi dari jenis guncangan ini (Auriol et al., 2020). Di sisi lain, guncangan ekonomi dapat meningkatkan kepatuhan beragama dengan menurunkan opportunity cost untuk berpartisipasi dalam kegiatan keagamaan (Azzi dan Ehrenberg, 1975). Mengingat ambiguitas teoretis ini, kami secara empiris mempelajari hubungan antara kesulitan ekonomi dan agama dalam konteks Afghanistan dengan memeriksa efek perubahan iklim pada ketaatan beragama. Kami menemukan bahwa kondisi iklim yang buruk secara signifikan meningkatkan ketaatan beragama.
Pendekatan pengukuran penelitian yang didasarkan pada wawasan sederhana: Prinsip inti Islam adalah berdoa lima kali sehari selama periode waktu tertentu. Penelitian ini mengemukakan bahwa jumlah aktivitas non-shalat yang diamati selama jendela sholat (maghrib dip) yang ditentukan dapat memberikan indikasi kepatuhan beragama penduduk.
Data dan Metodologi
Peneliti mengambil data penduduk lokal mengenai ketaatan beragama dengan membuat persamaan di antara waktu shalat di seluruh wilayah bagian Afghanistan.
Berdasarkan grafik dan persamaan di atas memperlihatkan fakta tentang aktivitas menggunakan hape dan ketaatan beragama. Tingkat call volume cukup rendah ketika mencapai malam hari karena banyak digunakan waktunya untuk tidur. Variabel maghrib dip mengestimasikan 30 menit memasuki waktu maghrib dan 30 menit sesudah waktu maghrib.
Selain menggunakan maghrib dip, penelitian ini menggunakan 2 pendekatan lainnya untuk memvalidasi persamaan maghrib dip, di mana pendekatan yang pertama membandingkan tingkat religiositas berdasarkan survei untuk individu yang sama. Kedua, mengestimasikan korelasi dengan data regional lainnya. Penelitian ini menggunakan persamaan untuk mengukur tingkat ekonomi dan perubahan iklim terhadap tingkat ketaatan beragama
Persamaan ini digunakan untuk melihat korelasi antara perubahan iklim yang merugikan terhadap tingkat ketaatan beragama, yang memasukkan variabel maghrib dip dengan data SPEI yang dikonversikan sebesar 10 km x 10 km grid cell.
Persamaan ini mempunyai variabel di mana dgm merupakan maghrib dip, g merupakan grid cell dan m merupakan bulan, αg adalah grid-cell fixed effects; θm adalah fixed effects berdasarkan bulan; and SPEIT merupakan index SPEI berdasarkan waktu (T) dalam jarak 3 bulan, 6 bulan maupun 12 bulan, β adalah koefisien yang menunjukkan bagaimana kondisi curah hujan berhubungan dengan ketaatan beragama.
Hasil Penelitian
Tabel 1: Variabel maghrib dip yang diregresi untuk mengukur tingkat ketaatan beragama
Hasil pada Tabel 1 menunjukkan bahwa masyarakat yang taat beragama cenderung sedikit untuk memakai handphone/menelepon ketika waktu maghrib. Koefisien menunjukkan kenaikan 1 standar deviasi (Survey Religiosity Index) meningkatkan MaghribDip sebesar 3.42, sebesar 44% dari 7.85. Penelitian ini melakukan regresi terhadap ukuran maghrib dip tingkat individu pada survei indeks religiositas, termasuk fixed effects distrik tertentu di Afghanistan (Parwan dan Kabul). Koefisien menunjukkan bahwa peningkatan satu standar deviasi (SD) dalam indeks dikaitkan dengan peningkatan 44% dalam ukuran maghrib dip (p <0,04). Baris lain dari tabel menyajikan regresi analog dengan masing-masing pertanyaan yang terdiri dari indeks, yang menunjukkan bahwa korelasi paling kuat untuk komponen “membaca al-quran sehari-hari” sementara “menjalankan shalat 5 waktu” dan “tidak minum alkohol” juga signifikan, yang lainnya berkorelasi positif tetapi korelasinya tidak signifikan secara statistik.
Kedua, penelitian ini melihat korelasi antara tingkat kesulitan ekonomi dengan tingkat ketaatan dalam beragama. Ada beberapa alasan mengapa kesulitan ekonomi yang merugikan dapat menyebabkan peningkatan ketaatan beragama. Pertama, guncangan pendapatan negatif dapat menurunkan biaya peluang untuk berpartisipasi dalam kegiatan keagamaan melalui pertimbangan penggunaan waktu (Azzi dan Ehrenberg, 1975). Kedua, individu mungkin lebih mematuhi praktik keagamaan untuk tujuan jaminan sosial, jika menampilkan norma agama membantu mengamankan sumber daya dan dukungan dari jaringan sosial keagamaan mereka (Chen, 2010). Ketiga, keamanan pendapatan yang lebih rendah dapat mengarah pada keyakinan agama yang lebih kuat, jika orang beralih ke agama ketika mereka mengalami atau mengharapkan hasil negatif. Penelitian ini berfokus untuk melihat perubahan iklim (kekeringan) yang memengaruhi sektor pertanian Afghanistan. Mengapa sektor agrikultur/pertanian? Karena sektor ini merupakan sektor yang cukup penting bagi perekonomian Afghanistan yang berkontribusi pada 23% GDP dan sebagai sumber pendapatan warga Afghanistan sebesar 62% dari total populasi. Ukuran kekeringan diukur menggunakan index SPEI (Standardized Precipitation – Evapotranspiration Index) untuk melihat dampak dari curah hujan terhadap sektor agrikultur tidak hanya diukur dari tingkat presipitasi tetapi kemampuan tanah menangkap air. Persamaan yang dibuat oleh penulis untuk melihat hubungan antara perubahan iklin dan tingkat ketaatan beragama.
Tabel 2: Pengaruh Perubahan Iklim terhadap Ketaatan Beragama Berdasarkan Index SPEI
Nilai positif maghrib dip menunjukkan lebih banyak masyarakat yang taat beragama, nilai positif SPEI menunjukkan lebih banyak curah hujan relatif terhadap rata-rata historis. (Koefisien negatif menunjukkan curah hujan yang menguntungkan mengurangi kepatuhan beragama). Satu pengamatan disertakan untuk setiap bulan untuk setiap grid cell 10 km X 10 km. Kedua, kami mempertimbangkan dampak kekeringan besar, seperti yang melanda Afghanistan pada tahun 2018 dengan menghitung rata-rata SPEI-9 untuk sepertiga terbawah dari grid cell bulan yang paling terkena dampak kekeringan pada tahun 2018 yaitu yang menempati peringkat terendah dalam hal nilai SPEI-9 tahun itu. Penelitian ini menemukan grid cell ini memiliki nilai SPEI-9 rata-rata -1,64. Koefisien pada kolom (2) menyiratkan bahwa perubahan SPEI-9 sebesar ini meningkatkan kepatuhan beragama sekitar 23,6 %. Penelitian ini memberikan bukti sugesti yang menunjukkan bahwa mekanisme opportunity cost dan motivasi social insurance tidak mungkin menjadi faktor utama dalam konteks penelitian. Bukti utama relevansi penelitian terhadap opportunity cost berasal dari pemilahan analisis siklus tanam di Afghanistan. Penelitian ini fokus pada panen gandum, karena gandum adalah tanaman paling dominan di Afghanistan dan ditanam di setiap provinsi dan variabel dipilih berdasarkan musim, hasil penelitian menunjukkan bahwa maghrib dip itu sendiri, terlepas dari guncangan iklim, umumnya terbesar selama musim panen dibandingkan dengan dua musim lainnya karena tenaga kerja pertanian paling intensif selama masa panen, fakta bahwa orang-orang, jika ada, lebih patuh selama panen menunjukkan bahwa opportunity cost waktu bukanlah penentu utama ketaatan beragama di Afghanistan.
Tabel 3: Pengaruh Perubahan Iklim terhadap Ketaatan Beragama berdasarkan Musim Panen di Afghanistan
Tabel 3 menggunakan ukuran SPEI 9 bulan, tetapi hasilnya tidak berubah saat menggunakan SPEI 6 bulan atau 12 bulan. Semua spesifikasi dijalankan pada tingkat tahun grid cell, dan termasuk grid cell dan fixed effects Kolom yang berbeda sesuai dengan kumpulan variabel kontrol yang berbeda: kolom 2-3 mengontrol SPEI selama musim panen dan pascapanen; kolom 4-6 juga mengontrol penurunan Maghrib pada 9 bulan sebelumnya (karena musim tanam SPEI dapat secara langsung mempengaruhi religiusitas musim tanam dan dengan demikian mempengaruhi religiusitas musim berikutnya), dan kolom 7-9 membuang hari-hari yang termasuk dalam bulan suci Ramadhan karena kepatuhan beragama sangat tinggi selama periode ini, dan karena Ramadhan tumpang tindih terutama dengan musim panen
Penelitian ini juga menunjukkan bahwa perubahan iklim menyebabkan peningkatan ketaatan beragama. Adanya perubahan iklim memengaruhi ketaatan beragama melalui dampak ekonominya terhadap produksi pertanian. Efek yang diperkirakan paling signifikan adalah di daerah curah hujan dapat merusak hasil pertanian, seperti lahan pertanian tadah hujan. Pengaruh kondisi iklim musim tanam juga paling signifikan pada musim tanam ketika orang berdoa untuk campur tangan tuhan dan musim setelah panen ketika pendapatan mulai meningkat. Hasil ini signifikan menunjukan bahwa kesulitan ekonomi membentuk perilaku keagamaan ketika individu beralih ke agama untuk mengatasi perubahan iklim yang merugikan umat manusia.
Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian yang ada menunjukan bahwa di suatu kondisi dimana keadaan ekonomi mengalami penurunan atau memburuk, perilaku masyarakat menjadi lebih taat. Penggunaan data telepon seluler secara anonim saat “Maghrib Dip” sebagai indikasi ketaatan beragama, memberikan wawasan unik tentang mengapa kesulitan ekonomi meningkatkan religiositas. Secara khusus, peneliti menemukan bahwa bukan hanya perilaku yang dapat diamati secara publik seperti panggilan telepon antar-pribadi yang terjadi selama jendela sholat atau “Maghrib Dip” sebaliknya, aktivitas berbasis telepon yang lebih pribadi, seperti panggilan ke shortcode otomatis juga menampilkan penurunan serupa.
Ketika penurunan ekonomi terjadi, ukuran kepatuhan beragama yang lebih pribadi ini juga meningkat serta menunjukkan bahwa orang tidak menjadi lebih taat hanya untuk terlihat lebih religius kepada orang lain, tetapi motivasi pribadi memainkan peran penting dalam membentuk cara mereka merespons kesulitan. Pemilihan kerangka penelitian di Afghanistan sebagai negara muslim diharapkan dapat menjadi dasar penelitian yang relevan bagi negara muslim lainnya. Dimana dengan pendekatan yang bergantung pada wawasan sederhana bahwa pola agregat penggunaan teknologi dapat memberikan perspektif kuantitatif baru tentang kepatuhan beragama dari waktu ke waktu dan ruang.