Judul Artikel : “Escaping Europe: health and human capital of Holocaust refugees”
Penulis : Matthias Blum dan Claudia Rei
Tahun Terbit : 2017
Jurnal : European Review of Economic History
Diulas oleh Bernard Rendra Putra Kristanto
Latar Belakang
Persekusi besar-besaran hingga genosida terhadap orang Yahudi di Eropa setelah Nazi berkuasa menjadi penyebab salah satu gelombang pengungsian terbesar pada abad ke-20. Mulai dari berkuasanya Nazi pada bulan Januari 1933 hingga serangan fajar kepada Polandia pada musim gugur 1939, teror dan ancaman bagi orang Yahudi menjadi suatu hal yang lazim di Jerman. Pembatasan terhadap kehidupan orang Yahudi diawali oleh antisemitic laws, antisemitic propaganda, pemboikotan terhadap bisnis orang Yahudi, kekerasan yang direncanakan seperti peristiwa Kristallnacht, dan lain sebagainya. Hal tersebut membuat orang Yahudi Eropa terdorong untuk berpindah tempat dan menyelamatkan nyawanya. Kemudian, seiring berjalannya waktu, kebijakan Nazi menjadi semakin kejam dan berakhir pada genosida atau yang biasa dikenal dengan istilah The Final Solution pada masa Perang Dunia II.
Paper ini meneliti gelombang terakhir pengungsian orang Yahudi Eropa. Peneliti menganalisis seluruh penumpang yang berlayar dari Lisbon ke New York dengan menggunakan kapal uap antara tahun 1940 hingga 1942. Lisbon merupakan pelabuhan besar terakhir yang beroperasi setelah perang berkecamuk. Perlu diketahui bahwa ‘menyelamatkan diri’ dari Eropa sebelum tahun 1940 masih dimungkinkan walaupun sulit karena terdapat beberapa pelabuhan yang beroperasi. Bentuk kesulitan yang dihadapi oleh pengungsi adalah pembatasan imigrasi oleh negara tujuan, misalnya Amerika Serikat. Hal tersebut diberlakukan mengingat langkanya pekerjaan akibat peristiwa the Great Depression (Hoover, 1931). Selanjutnya, setelah tahun 1940, menyelamatkan diri adalah sebuah kombinasi antara keberuntungan dan mukjizat, terlebih dengan adanya penetapan larangan emigrasi pada wilayah yang telah diduduki Nazi. Di samping itu, Amerika Serikat juga menjadi lebih waspada terhadap penyusupan mata-mata, ideologi komunisme, dan ideologi fasisme melalui para pengungsi setelah mengetahui bahwa Paris jatuh ke tangan Nazi (Goodwin, 1995). Mereka percaya bahwa Nazi telah mengirimkan mata-mata untuk menjatuhkan Prancis dari dalam.
Di sini, peneliti menggunakan rata-rata tinggi badan orang dewasa sebagai indikator utama dari health dan human capital karena indikator tersebut bersifat output-oriented yang mencerminkan nutrisi, kondisi lingkungan, polusi, dan kualitas residensial (Steckel, 1995). Para sejarawan ekonomi lainnya juga menggunakan indikator tersebut dalam menganalisis berbagai peristiwa migrasi. Penelitian ini bertujuan untuk (1) menganalisis perbedaan tinggi badan emigran dan penduduk yang memilih untuk tetap tinggal di negaranya, (2) menganalisis perbedaan tinggi badan berdasarkan kewarganegaraan; jenis kelamin; status mereka sebagai pengungsi ataupun nonpengungsi, dan (3) menginvestigasi penyebab perbedaan tinggi badan antara pengungsi dan nonpengungsi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa para pengungsi memiliki kualitas human capital yang lebih baik daripada mereka yang tetap tinggal di negaranya sehingga dapat dikatakan telah terjadi brain drain pada negara-negara di Eropa.
Data dan Metodologi
Data set yang digunakan adalah New York Passenger Arrival Record (1820–1957) yang berasal dari Arsip Nasional Washington DC. Peneliti berfokus pada gelombang terakhir pengungsi di masa Holocaust jurusan Lisbon–New York dalam rentang waktu 11 Juli 1940 hingga 30 Juni 1942. Perjalanan tersebut terekam dalam 243 microfilm rolls dan tiap roll-nya berisi antara satu hingga tiga volume manifes kapal—daftar isi muatan kapal—yang memisahkan warga negara Amerika Serikat dan warga negara asing. Peneliti hanya menggunakan data warga negara asing dan kemudian mencari informasi tambahan terkait ras, tempat tinggal terakhir, tinggi badan, jumlah bahasa yang dikuasai, dsb. Penumpang Yahudi diklasifikasikan sebagai pengungsi. Begitu pula penumpang non-Yahudi yang memiliki pasangan/anak/orang tua Yahudi dan penumpang yang tidak memiliki kewarganegaraan juga diklasifikasikan sebagai pengungsi. Dari 19.193 penumpang warga negara asing yang tercatat, 12.204 di antaranya merupakan orang Yahudi. Hal ini berarti imigrasi yang terjadi didominasi oleh pengungsi Holocaust. Selain itu, peneliti juga membatasi analisis yang dilakukan hanya bagi mereka yang berusia minimal 16 tahun karena anak-anak belum memaksimalkan health capital dan human capital mereka.
Penelitian 1
Peneliti menganalisis pengaruh dari gelombang migrasi ini terhadap health capital dan human capital dengan mengestimasi rata-rata tinggi badan penumpang dewasa yang dibedakan berdasarkan kewarganegaraan, jenis kelamin, dan status sebagai pengungsi dengan model regresi linear majemuk sebagai berikut:

hi merupakan tinggi badan dari individu i, A16-A19 merupakan variabel dummy untuk remaja berusia 16 hingga 19 tahun, Ci-Ckmerupakan variabel dummy untuk individu yang berasal dari negara dengan jumlah orang dewasa minimal 20 orang dan epsilon i merupakan error term. Peneliti melakukan analisis regresi secara terpisah berdasarkan gender dan status pengungsi. Kemudian, peneliti menambahkan estimasi konstanta alfa untuk masing-masing kewarganegaraan beta k, dengan mengontrol minor ages. Estimasi rata-rata tinggi badan ini akan dibandingkan dengan rata-rata tinggi badan masyarakat negara asalnya untuk membandingkan kualitas human capital. Hasil dari regresi di atas dapat dilihat pada tabel 1 dan tabel 2.
Hasil Penelitian 1

Sebelumnya perlu diketahui bahwa terdapat potensi bias dalam tinggi badan yang tercantum pada manifes kapal karena pengambilan data bersifat self-reported. Terdapat literatur yang menjelaskan bahwa bias pada laki-laki adalah +0,8 cm (Hatton and Bray, 2010) dan bias perempuan adalah pada rentang -1,7 cm hingga +2,5 cm (Engstrom et al., 2003). Meskipun demikian, peneliti menyatakan bahwa tidak ada alasan untuk mengasumsikan perbedaan bias antargender sehingga peneliti mengoreksi seluruh tinggi badan penumpang dengan menurunkannya 0,8 cm.
Tabel 1 menunjukkan bahwa terdapat positive selection pada penumpang laki-laki nonpengungsi dalam setiap kewarganegaraan, kecuali Yunani. Hal ini menunjukkan bahwa rata-rata tinggi badan penumpang laki-laki non-pengungsi lebih tinggi daripada rata-rata tinggi badan laki-laki di asal negaranya. Untuk pengungsi laki-laki, tidak ditemukan perbedaan yang signifikan pada kewarganegaraan Austria, Jerman, Hungaria, Latvia, dan Polandia. Selain itu, pengungsi laki-laki berkewarganegaraan Belanda dan Luksemburg lebih pendek daripada rata-rata tinggi badan laki-laki di asal negaranya. Meskipun demikian, kebanyakan pengungsi laki-laki dari negara lainnya tetap lebih tinggi daripada negara asalnya (positive selection). Selain itu, dapat dilihat pula bahwa rata-rata tinggi badan pengungsi laki-laki relatif lebih rendah daripada nonpengungsi.

Tabel 2 menunjukkan bahwa seluruh penumpang perempuan non-pengungsi terpilih secara positif (positively selected) dan signifikan pada seluruh negara. Begitu pula mayoritas pengungsi perempuan juga terpilih secara positif (positively selected) dan signifikan. Perbedaan yang tidak signifikan hanya ditemukan pada pengungsi berkewarganegaraan Latvia dan Luksemburg. Sama seperti laki-laki, dapat dilihat bahwa rata-rata tinggi badan pengungsi perempuan juga relatif lebih rendah daripada nonpengungsi. Selanjutnya, setelah melihat tabel 1 dan tabel 2, dapat ditarik kesimpulan bahwa walaupun sudah dilakukan koreksi dengan menurunkan data tinggi badan, mayoritas penumpang baik pengungsi maupun nonpengungsi, baik laki-laki maupun perempuan, memiliki rata-rata tinggi badan yang lebih tinggi daripada tinggi daripada penduduk negara asalnya. Hal ini mengindikasikan bahwa telah terjadi brain drain pada masyarakat di Eropa. Masyarakat dengan human capital yang tinggi pergi dari negara asalnya, terutama masyarakat Yahudi, mengingat pelayaran ini didominasi oleh pengungsi Holocaust.
Penelitian 2
Setelah mengestimasi rata-rata tinggi badan para penumpang kapal, peneliti ingin mengetahui lebih lanjut alasan yang mendasari perbedaan tinggi badan antara penumpang yang merupakan pengungsi dengan nonpengungsi. Peneliti kemudian menguji apakah perbedaan tersebut masih signifikan dengan memasukkan variabel kontrol keterampilan, timing of migration, dan kekayaan yang masing-masing dijadikan H1, H2, dan H3 berdasarkan model regresi linear majemuk sebagai berikut:

dengan j=1,2,3 ; H1=Si ; H2=Mi ; H3=Yi . Kemudian, Ri merupakan variabel dummy yang bernilai 1 jika merupakan pengungsi dan bernilai 0 jika nonpengungsi. Si merupakan tingkat keterampilan individu i yang diproksikan dengan Armstrong Index (Armstrong, 1972). Mi merupakan inisiatif migrasi yang diukur dengan US visa timing individu i dan apakah individu i telah bermigrasi dari Eropa sebelum berlayar ke US. Yi merupakan kekayaan yang diproksi dengan travel class dan sumber pendanaan tiket, Ci dan Ai masing-masing adalah country dan age fixed effects, eta i adalah tambahan individual control, dan epsilon i merupakan error term. Tambahan individual control yang dimaksud adalah variabel dummy berupa asal daerah (desa/kota) dan rencana tinggal permanen atau tidak. Hasil regresi di atas ditunjukkan pada tabel 3 dan tabel 4.
Hasil Penelitian 2

Berdasarkan baseline regression pada tabel 3, pengungsi laki-laki memiliki tinggi badan 2,58 cm lebih rendah daripada laki-laki nonpengungsi. Hasil tersebut tetap signifikan dalam pengujian H1 dan H3 (keterampilan dan kekayaan) secara terpisah, tetapi tidak signifikan dalam pengujian H2 (migration timing) dan pada akhirnya juga tidak signifikan dalam pengujian H1, H2, dan H3 secara bersamaan. Hal tersebut menunjukkan bahwa perbedaan tinggi badan yang terobservasi antara pengungsi dan nonpengungsi lebih terkait dengan migration timing daripada perbedaan keterampilan dan kekayaan. Pada waktu ini, para pengungsi penuh dengan tekanan untuk keluar dari Eropa, sedangkan nonpengungsi dapat keluar dari Eropa tanpa tekanan.
Selanjutnya, pengujian perbedaan rata-rata tinggi badan berdasarkan keterampilan (H1) menunjukkan bahwa peningkatan keterampilan laki-laki sebesar satu tingkat menyebabkan peningkatan rata-rata tinggi badan sebesar 0,35 hingga 0,37 cm. Namun, hasil ini menjadi tidak signifikan jika variabel keterampilan tersebut berinteraksi dengan variabel refugee. Pengujian perbedaan berdasarkan migration timing (H2) menunjukkan bahwa jika waktu yang dibutuhkan pengungsi untuk mendapatkan visa (dilakukan interaksi variabel visa timing dan refugee) naik sebesar 1 unit, maka rata-rata tinggi badannya akan lebih rendah 0,89 hingga 1,21 cm secara signifikan. Hal ini berarti pengungsi-pengungsi terdahulu memiliki postur yang relatif lebih tinggi. Terakhir, pengujian perbedaan berdasarkan kekayaan (H3) menunjukkan bahwa ketika travelling class seorang laki-laki naik satu tingkat, maka rata-rata tinggi badannya lebih rendah 0,77 hingga 0,79 cm. Namun, sama seperti pengujian H1, hasil ini menjadi tidak signifikan jika variabel travelling class berinteraksi dengan variabel refugee. Dapat disimpulkan bahwa perbedaan tinggi badan antara laki-laki pengungsi dan nonpengungsi lebih disebabkan oleh perbedaan migration timing.

Serupa dengan laki-laki, tabel 4 menunjukkan bahwa rata-rata tinggi badan pengungsi perempuan lebih pendek 2,17 cm daripada nonpengungsi secara signifikan pada baseline regression. Memasukkan variabel kontrol migration timing (H2) juga menjadikannya tidak signifikan, begitu pula pada pengujian H1, H2, H3 secara bersamaan. Pengujian perbedaan berdasarkan keterampilan (H1) tidak relevan pada perempuan karena Armstrong Index yang digunakan tidak dapat menggambarkan keterampilan perempuan (banyak perempuan adalah ibu rumah tangga). Pengujian perbedaan berdasarkan migration timing (H2) menunjukkan hasil yang berbeda dengan laki-laki. Jika waktu yang dibutuhkan untuk mendapatkan visa naik sebesar 1 unit, tidak peduli pengungsi ataupun nonpengungsi, maka perempuan tersebut akan lebih rendah 1,01 hingga 1,10 cm. Terakhir, pengujian perbedaan berdasarkan kekayaan (H3) juga tidak relevan pada variabel travelling class perempuan mengingat perempuan bukanlah tulang punggung keluarga.
Kesimpulan
Penelitian ini menguji health capital dan human capital melalui tinggi badan penumpang kapal yang berlayar dari Lisbon menuju New York pada tahun 1940 hingga 1942 yang didominasi oleh pengungsi Holocaust, terutama orang Yahudi. Penelitian 1 menunjukkan bahwa penumpang yang berhasil melarikan diri dan menyelamatkan nyawa dari ancaman Nazi di Eropa tidak hanya lebih beruntung, tetapi juga memiliki health capital dan human capital yang lebih baik. Hal ini menunjukkan bahwa terjadi fenomena brain drain pada penduduk Eropa. Selain itu, data juga menunjukkan bahwa pengungsi memiliki tinggi badan yang relatif lebih rendah daripada nonpengungsi. Selanjutnya, pada penelitian 2, peneliti menginvestigasi lebih lanjut apa yang menyebabkan perbedaan tinggi badan tersebut melalui tiga hipotesis: berdasarkan perbedaan keterampilan, berdasarkan inisiatif migrasi, dan berdasarkan perbedaan kekayaan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan yang signifikan antara pengungsi dan nonpengungsi berdasarkan keterampilan atau kekayaan. Akan tetapi, terdapat perbedaan yang signifikan berdasarkan inisiatif migrasi, yang diproksikan dengan visa date dan migrant status sebelum menuju Lisbon. Dapat disimpulkan bahwa pengungsi yang datang lebih awal (tahun 1933-1939) memiliki kualitas human capital yang lebih tinggi daripada setelahnya.