Skip to content

Ending Global Poverty: Why Money Isn’t Enough

Grandma Test

Peneliti    : Lucy Page dan Rohini Pande

Tahun        : 2018

Publisher    : American Economic Journal: Journal of Economic Perspectives

Diulas oleh Alif Ihsan A Fahta

Pendahuluan

Populasi masyarakat dunia yang hidup di bawah garis kemiskinan ekstrem global (konsumsi $1,90 per hari) telah turun drastis dalam beberapa dekade terakhir, dari 42 persen pada tahun 1981 menjadi 11 persen pada tahun 2013 (PovcalNet, 2018). Penurunan yang luar biasa ini telah meningkatkan harapan akan pengurangan yang berkelanjutan serta menciptakan ekspektasi tentang pengurangan tingkat kemiskinan di masa depan. Pada tahun 2015, lembaga-lembaga internasional meletakkan tujuan mengakhiri kemiskinan ekstrem pada tahun 2030 dalam bentuk Sustainable Development Goals

Orang-orang termiskin di dunia hidup di antara dua kelompok negara, yaitu negara-negara berpenghasilan rendah dan rapuh seperti Afghanistan dan Liberia serta kumpulan negara-negara berpenghasilan menengah yang tumbuh cepat tetapi distribusi pendapatannya semakin tidak merata seperti India, Nigeria, China, Indonesia, Pakistan, Filipina, dan Afrika Selatan. Di negara-negara berpenghasilan rendah, pertumbuhan ekonomi yang stabil kemungkinan besar akan menjadi alat terpenting untuk meningkatkan kehidupan orang miskin. Namun di kelompok negara berpenghasilan menengah, pertumbuhan yang mengangkat jutaan orang keluar dari kemiskinan diiringi dengan peningkatan ketidaksetaraan pendapatan (Alvaredo, Chancel, Piketty, Saez, dan Zucman, 2018).

Tabel 1: Geografi Pusat Kemiskinan Ekstrim Global, Tahun 1987 dan 2013

Hal yang mendasari argumen peneliti ini adalah perubahan letak geografis pusat kemiskinan global. Tabel 1 menggambarkan perubahan dalam konsentrasi kemiskinan ekstrem selama 30 tahun terakhir. Panel A dan B dari Tabel 1 menunjukkan 20 negara yang masing-masing merupakan tempat bagi jumlah penduduk miskin dunia tertinggi pada tahun 1987 dan 2013. Pada tahun 1987, sebesar 90 persen orang miskin dunia tinggal di negara-negara berpenghasilan rendah, sementara hanya 6,5 ​​persen tinggal di negara-negara berpenghasilan menengah. Pada tahun yang sama, hanya terdapat 5 dari 20 negara dengan penduduk miskin terbanyak yang berpenghasilan menengah. Namun pada tahun 2013, lebih dari 60 persen orang miskin dunia tinggal di negara-negara berpenghasilan menengah dan sembilan dari 20 negara dengan konsentrasi kemiskinan ekstrem tertinggi adalah negara-negara berpenghasilan menengah. Pada tahun 2013, hampir setengah dari penduduk miskin ekstrem dunia (49,3 persen) tinggal di delapan negara tersebut, atau negara yang peneliti sebut sebagai negara berpenghasilan menengah dengan tingkat kemiskinan tinggi.

Secara historis, upaya untuk mengurangi kemiskinan bergantung pada dua hal: pertumbuhan ekonomi dan redistribusi sumber daya kepada orang miskin, baik oleh negara itu sendiri maupun bantuan asing. Dalam penelitian ini, peneliti menjelaskan bahwa pertumbuhan ekonomi dan bantuan tunai, setidaknya seperti bentuk yang umum dipakai pada masa kini, tidak mungkin cukup untuk mengakhiri kemiskinan ekstrem pada tahun 2030. Untuk secepat mungkin mengakhiri kemiskinan ekstrem secara berkelanjutan, negara-negara yang menjadi tempat bagi banyak masyarakat miskin di dunia perlu diperkuat sedemikian rupa sehingga dapat bertanggung jawab terhadap kebutuhan orang miskin dan memiliki kapasitas untuk memenuhi kebutuhan tersebut. Selain itu, peneliti juga menjelaskan mengenai pentingnya penggunaan sumber daya secara efektif untuk menurunkan angka kemiskinan dengan cara berinvestasi pada apa yang peneliti sebut sebagai “invisible infrastructure.” Di sisi lain, peneliti juga membahas mengenai pentingnya institusi sosial berskala internasional yang merupakan hasil kerja sama berbagai negara maupun pihak swasta untuk mempertimbangkan ulang alokasi sumber daya mereka agar dapat mengurangi angka kemiskinan di berbagai negara. Selain itu, peneliti juga mencoba untuk membahas permasalahan mengenai keterbatasan kapasitas fiskal negara yang menghambat tata kelola penyediaan invisible infrastructure.

Data dan Metodologi Penelitian

Di tabel 1, peneliti menggunakan data kemiskinan ekstrem dari PovcalNet tahun 2018. Agar konsisten dengan data kemiskinan 2013, peneliti mengklasifikasikan negara-negara berpenghasilan rendah atau menengah pada tahun 1987 dan 2013 berdasarkan daftar ekonomi World Bank untuk FY1989 dan FY2015, dengan masing-masing klasifikasi menggunakan data pendapatan dari tahun kalender 1987 dan 2013. Peneliti tidak mengikutsertakan negara berpenghasilan rendah yang beralih status ke negara berpenghasilan menengah sejak FY2015, seperti Bangladesh dan Kenya. 

Untuk gambar 1, Peneliti menggunakan data aliran official development assistance (ODA) dari AidData tahun 2017. Peneliti mengklasifikasikan tujuan bantuan ekonomi sesuai dengan kode tujuan OECD Creditor Reporting System (CRS) yang ditetapkan oleh AidData. Bantuan ekonomi mencakup bantuan untuk sektor-sektor produktif seperti pertanian, pertambangan, konstruksi, transportasi dan penyimpanan, komunikasi, pembangkit dan pasokan energi, serta perbankan dan jasa keuangan (1-digit kode CRS 2 dan 3). Bantuan sosial meliputi bantuan untuk pendidikan, kesehatan, kebijakan kependudukan dan kesehatan reproduksi, penyediaan air dan sanitasi, serta infrastruktur dan layanan sosial lainnya (2-digit kode CRS 11, 12, 13, 14, 16, 42, dan 52). Bantuan kemanusiaan meliputi bantuan tanggap darurat dan kesiapsiagaan (1-digit kode CRS 7). Bantuan terkait utang mencakup pengampunan utang, penjadwalan ulang, dan pembiayaan kembali (1-digit kode CRS 6). Bantuan tata kelola mencakup peningkatan kapasitas kelembagaan, pengelolaan keuangan sektor publik, reformasi pegawai negeri, serta pencegahan dan penyelesaian konflik (2-digit kode CRS 15).

Untuk gambar 3, peneliti menggunakan data penerimaan pajak dari ICTD/UNU–WIDER tahun 2017 dan data GDP dari World Development Indicators tahun 2017. Peneliti menggunakan data pajak yang juga memasukkan kontribusi sosial dari kumpulan data pendapatan pemerintah “gabungan” yang tersedia melalui ICTD. Peneliti mengecualikan pengamatan ketika ICTD menandai data dengan “akurasi, kualitas, atau komparabilitas data dipertanyakan.” Peneliti menggunakan data perpajakan terbaru yang tersedia sejak tahun 2010; data dari tahun 2015 untuk 131 dari 167 negara. Selanjutnya, tidak tersedia data Nigeria, salah satu dari delapan negara berpenghasilan menengah yang menjadi rumah atas banyak masyarakat miskin. Agar konsisten dengan klasifikasi negara-negara berpenghasilan menengah dengan tingkat kemiskinan tinggi pada Tabel 1, peneliti juga mengklasifikasikan status pendapatan negara menurut daftar ekonomi FY15 World Bank, yang didasarkan pada data dari tahun kalender 2013.

Hasil Penelitian

Bisakah Kita Mengandalkan Pertumbuhan Ekonomi untuk Mengakhiri Kemiskinan?

Pertumbuhan ekonomi telah menurunkan kemiskinan global secara signifikan (Kraay, 2006; Dollar, Kleineberg, dan Kraay, 2016). Cina sendiri adalah rumah bagi tiga perempat dari 1,12 miliar orang yang diangkat dari kemiskinan ekstrem di seluruh dunia antara tahun 1981 hingga 2013 ketika pertumbuhan rata-rata perekonomiannya 10 persen per tahun. India tumbuh pada tingkat tahunan rata-rata 6,2 persen selama periode yang sama dan angka kemiskinan ekstrem pada tahun 2013 berkurang sebesar 190 juta orang dibandingkan pada tahun 1981. Indonesia, yang mengalami pertumbuhan rata-rata 5 persen, angka kemiskinan ekstremnya juga berkurang sebesar 92 juta orang dari tahun 1981.

Pertumbuhan ekonomi di negara-negara berpenghasilan menengah yang memiliki banyak penduduk miskin pasti akan terus mengurangi angka kemiskinan ekstrem. Namun, kemiskinan akan terus berlangsung dalam waktu yang panjang dengan adanya ketidaksetaraan pendapatan. Ketidaksetaraan ini muncul dari pertumbuhan yang tidak merata: 10 persen pendapatan teratas India mengalami pertumbuhan 66 persen antara tahun 1980 dan 2016, sedangkan 50 persen terbawah hanya mengalami pertumbuhan sebesar 11 persen (Alvaredo et al., 2018). Lebih jauh lagi, pertumbuhan seringkali mendiskriminasi: di India, kelompok sosial yang kurang beruntung (kasta rendah Hindu dan Muslim) mewakili 55 persen orang miskin pada tahun 2011—naik dari 44 persen pada tahun 1983. Paling tidak, tren ketidaksetaraan ini menunjukkan bahwa pertumbuhan tidak mengurangi kemiskinan secepat yang dilakukan oleh distribusi sumber daya yang adil. Oleh karena itu, peneliti berpendapat bahwa mengakhiri kemiskinan ekstrem secepat mungkin di negara-negara berpenghasilan rendah dan berpenghasilan menengah yang menyimpan banyak masyarakat miskin akan membutuhkan pertumbuhan ekonomi yang digabungkan dengan suatu mekanisme tertentu agar dapat secara langsung mendistribusikan kembali sumber daya kepada orang miskin dalam bentuk bantuan yang mereka butuhkan.

Apakah Uang Tunai Cukup untuk Mengakhiri Kemiskinan?

Banyak program bantuan tunai telah terbukti membuat hidup lebih baik secara signifikan bagi masyarakat miskin. Misalnya, GiveDirectly yang merupakan program transfer yang memungkinkan individu di negara kaya untuk mengirim uang secara langsung—biasanya dalam kisaran beberapa ratus dolar—ke orang Afrika yang miskin. Haushofer dan Shapiro (2016) menemukan bahwa hibah ini secara signifikan meningkatkan konsumsi rumah tangga sembilan bulan setelah diberikan. Selanjutnya studi jangka panjang menunjukkan bahwa keuntungan dalam aset bertahan tiga tahun kemudian (Haushofer dan Shapiro, 2018). Namun, jika anak dari seorang wanita yang mendapatkan bantuan tersebut menjadi sakit atau rumahnya kebanjiran, ia mungkin jatuh kembali ke dalam kemiskinan. Bantuan tunai dapat membantunya membayar uang sekolah anak-anaknya, tetapi bantuan tersebut mungkin tidak akan signifikan jika pendidikan berkualitas tinggi penuh atau terlalu jauh. Lebih jauh lagi, jika kita memperluas perspektif kita di luar satu wanita ke semua orang yang sangat miskin di dunia, transfer tunai mungkin menjadi program yang terlalu mahal untuk menjadi jawaban berkelanjutan dalam mengakhiri kemiskinan global.

Oleh karena itu, seseorang yang mendapatkan bantuan berupa transfer tunai juga membutuhkan cara untuk menghemat uang dan kelancaran konsumsi, menerima kiriman uang, serta menyembunyikan uang ketika teman-teman dan keluarga penerima bantuan tersebut membutuhkannya. Jika penerima bantuan tidak terlatih dalam penggunaan rekening tetapi tetap diberikan rekening bank, terdapat kemungkinan bahwa penerima bantuan tersebut akan mencairkan transfer apa pun yang diberikan dan membiarkan manfaat dari akun itu tidak terealisasi (Field, Pande, Rigol, Schaner, dan Moore, 2016). Selain itu, penerima bantuan juga membutuhkan pendidikan yang berkualitas untuk anak-anaknya sehingga mereka dapat memperoleh lebih dari apa yang ia dapatkan, keluar dari kemiskinan, dan merawatnya di hari tua (Montenegro dan Patrinos, 2014). Penerima bantuan membutuhkan akses ke perawatan kesehatan dalam keadaan darurat dan kemampuan untuk berinvestasi sejak dini dalam pemenuhan nutrisi anak-anaknya (Currie dan Vogl, 2013). Penerima bantuan tentunya juga membutuhkan perlindungan—dari kerabat yang mungkin menipunya dalam persoalan tanah serta polusi industri yang dapat merusak kesehatan dan kemampuannya untuk bekerja. Penerima bantuan membutuhkan kebebasan untuk menggunakan semua fasilitas yang didapatkan secara strategis dan atas kemauannya sendiri. Penerima bantuan tersebut membutuhkan lebih dari $1,90 sehari.

Kebutuhan Invisible Infrastructure

Infrastruktur fisik dan hukum ataupun mekanisme-mekanisme yang diterapkan seringkali gagal menciptakan insentif bagi lembaga-lembaga sosial pemberantas kemiskinan yang berasal dari pemerintah maupun non-pemerintah untuk memastikan bahwa orang miskin menerima layanan yang mereka butuhkan agar dapat keluar dari kemiskinan. Pada akhirnya, efektivitas institusi dan infrastruktur fisik suatu negara bergantung pada bagaimana orang-orang dalam setiap institusi tersebut mengalokasikan sumber daya, menerapkan kebijakan, mengatur penyedia sektor swasta, dan menanggapi keluhan warga.

Untuk membantu orang miskin dan terisolasi keluar dari kemiskinan, diperlukan program yang lebih dari infrastruktur fisik dan mekanisme formal. Kita membutuhkan invisible infrastructure sebagai cara untuk memastikan bahwa komponen-komponen dasar ini diterjemahkan ke dalam layanan yang dibutuhkan oleh orang miskin untuk dapat memobilisasi perekonomian. Infrastruktur sosial-manusia yang tidak terlihat ini sangat penting untuk membuat orang miskin menyadari kemampuan mereka untuk dapat memobilisasi perekonomian. Selain itu, layanan tersebut juga harus dapat digunakan dengan baik oleh mereka dan tidak dikooptasi oleh orang-orang yang kuat dan berkuasa. Untuk itu, pemerintah perlu memilih individu yang berkualitas untuk menjadi staf lembaga-lembaga sosial pemberantas kemiskinan dan kemudian memberi mereka insentif serta informasi yang mereka butuhkan agar mereka dapat melakukan pekerjaan dengan baik. Oleh karena itu, dibutuhkan pertumbuhan ekonomi yang digabungkan dengan penyediaan langsung invisible infrastructure sebagai usaha untuk mengakhiri kemiskinan ekstrem.

Peran Bantuan Luar Negeri dan Pihak Swasta

Total volume bantuan asing telah meningkat secara substansial dari waktu ke waktu, meningkat hampir lima kali lipat antara tahun 1960 dan 2016, dari sekitar $32 miliar menjadi $158 miliar pada tahun 2016—keduanya dalam dolar AS konstan 2016 (OECD, 2018). Penurunan kemiskinan pada periode yang sama telah meningkatkan prospek bantuan sebagai kekuatan dominan dalam mengakhiri kemiskinan. Jika biaya untuk mengakhiri kemiskinan hanyalah nilai dolar dari kekurangan antara konsumsi harian orang miskin dan $1,90, masalah kemiskinan tampaknya telah terpecahkan; bantuan pembangunan resmi telah melebihi nilai ini sejak tahun 2006 (Chandy, Noe, dan Zhang, 2016).

Pada mulanya, aliran bantuan terfokus hampir secara eksklusif pada peningkatan pertumbuhan ekonomi, namun pada 1970-an para donor mulai menargetkan sebagian besar bantuan ke sektor sosial (Streeten, 1979). Gambar 1 menggambarkan pendistribusian bantuan menurut tujuannya dari waktu ke waktu.

Gambar 1: Bantuan Pembangunan Resmi (ODA) berdasarkan Tujuan dari Waktu ke Waktu (dalam miliar dolar AS konstan tahun 2011)

Beberapa investasi bantuan dalam infrastruktur sosial telah berhasil. Pada kesehatan global, misalnya, telah dibuktikan dengan harapan hidup rata-rata di seluruh dunia yang naik dari 46 menjadi 69 antara 1950 dan 2011 serta angka kematian anak dan bayi yang turun di setiap negara di dunia selama periode itu (Bloom, 2011). Selain itu, ketimpangan kesehatan global telah turun lebih cepat daripada ketimpangan pendapatan (Becker, Philipson, dan Soares, 2005). Hal tersebut terjadi karena negara-negara berpenghasilan rendah mengalami penurunan angka kematian anak yang didorong oleh kemajuan kesehatan masyarakat dalam akses ke air bersih, imunisasi, dan sanitasi. Dalam beberapa kasus, bantuan asing berkontribusi pada perbaikan ini.

Pemberantasan cacar—satu-satunya penyakit manusia yang pernah berhasil diberantas—menawarkan contoh nyata tentang kemungkinan keuntungan dari bantuan untuk kesehatan global. Pada pertengahan 1960-an, cacar masih menginfeksi 10 hingga 15 juta orang setiap tahun (Crosby, 1993). Pada tahun 1967, World Health Organization membentuk Intensified Smallpox Eradication Program yang memulai kampanye besar-besaran mengenai vaksinasi dan pengawasan kasus. Wabah pada akhirnya berkurang, kasus cacar endemik terakhir tercatat di Somalia pada tahun 1977, dan pada Mei 1980 World Health Assembly menyatakan cacar sebagai penyakit pertama yang pernah diberantas. 

Kampanye kesehatan dan bantuan sosial yang didanai lembaga-lembaga sosial berskala internasional maupun pihak swasta seperti kampanye melawan cacar sering kali dirancang sebagai program “vertikal” berbentuk kampanye untuk mencapai tujuan tertentu dan didanai serta diawasi oleh lembaga maupun pihak pendonor tersebut tanpa dibantu oleh pemerintah. Inisiatif vertikal dapat memperoleh hasil yang cepat dengan bekerja di luar sistem publik yang lemah, yang mungkin mengalami kekurangan staf terlatih, pendanaan, dan peralatan atau penundaan birokrasi lainnya (Atun, Bennett, dan Durán, 2008).

Selain itu, kampanye ini dapat membantu memuaskan harapan donor untuk melindungi bantuan dari perantara atau penerima yang korup (Dietrich 2013; Acht, Mahmoud, dan Thiele, 2015). Peneliti berhipotesis bahwa program vertikal sangat cocok untuk memecahkan masalah yang dapat diatasi dengan perhatian jangka pendek dan terarah, seperti menginokulasi anak-anak yang terkena cacar atau polio, namun di sisi lain intervensi bantuan akan lebih berhasil dalam jangka panjang jika dirancang dan diterapkan dengan dukungan negara.

Tantangan Tata Kelola dalam Penyediaan Invisible Infrastructure: Masalah Kapasitas

Negara-negara di kedua kelompok kemiskinan yang telah dijelaskan oleh peneliti biasanya kekurangan kapasitas fiskal untuk mengumpulkan dan membelanjakan sumber daya pada skala yang dibutuhkan untuk menyediakan layanan bagi penduduk mereka. Hal tersebut terjadi karena tingkat aktivitas ekonomi yang rendah dikombinasikan dengan kemampuan pajak negara yang rendah sehingga mengakibatkan kurangnya dana untuk menjalankan program bagi masyarakat miskin. Di sisi lain, gambar 3 menunjukkan kapasitas pajak di sebagian besar negara berpenghasilan menengah dengan tingkat kemiskinan tinggi sama rendahnya dengan di banyak negara berpenghasilan rendah. Pada tahun 2015, negara-negara berpenghasilan menengah dengan tingkat kemiskinan tinggi mengumpulkan 16,9 persen dari PDB mereka sebagai pendapatan pajak, sedangkan negara-negara berpenghasilan rendah memiliki rasio 13,3 persen.

Gambar 3: Pendapatan Pajak sebagai Bagian dari PDB menurut Pendapatan Negara

Gambar 3: Pendapatan Pajak sebagai Bagian dari PDB menurut Pendapatan Negara

Negara berkembang yang berhasil meningkatkan pendapatan pajak juga terkadang bergantung secara ekstensif pada pajak pertambahan nilai dan metode perpajakan lain yang lebih tidak langsung karena kapasitas negara yang rendah. Hal ini cenderung menimpa semua konsumen—terutama orang miskin, yang membelanjakan sebagian besar pendapatan mereka untuk makanan dan barang—berlawanan dengan pajak penghasilan yang dapat menargetkan orang kaya (Higgins dan Lustig, 2016).

Bahkan ketika negara dapat memobilisasi dana domestik untuk penyediaan infrastruktur yang tidak terlihat, korupsi dan kebocoran dapat menghambat kemampuan mereka untuk menjangkau orang miskin (Svensson, 2005). Akibatnya, bagian yang signifikan dari sumber daya yang dialokasikan oleh negara-negara berpenghasilan menengah yang menyimpan banyak masyarakat miskin miskin untuk perlindungan sosial mungkin tidak mencapai penerima manfaat yang tepat.

Kesimpulan

Efektivitas program-program yang dilaksanakan pemerintah, lembaga-lembaga sosial berskala internasional, dan pihak swasta untuk mengakhiri kemiskinan ekstrem pada tahun 2030 masih dipertanyakan. Peneliti percaya bahwa mencapai tujuan untuk memberantas kemiskinan dalam jangka waktu ini akan membutuhkan upaya pengkajian ulang agar dapat membuat strategi yang lebih substansial. Walaupun pertumbuhan ekonomi telah mendorong pengurangan besar dalam kemiskinan selama beberapa dekade terakhir, pengurangan kemiskinan yang berkelanjutan akan membutuhkan penyediaan “invisible infrastructure” yang dibutuhkan orang miskin untuk dapat memobilisasi perekonomian. Pada tahun 2030, kemungkinan besar manusia akan hidup di dunia yang jauh lebih kaya. Namun, apakah kondisi tersebut akan menciptakan dunia yang bebas dari kemiskinan akan tergantung pada apakah kita dapat menjangkau orang-orang yang paling terisolasi dan kurang beruntung di dunia—mereka yang tetap tidak tersentuh oleh pertumbuhan ekonomi dan aliran bantuan yang belum pernah terjadi sebelumnya. Selain itu, strategi mengakhiri kemiskinan melalui bantuan sosial dari luar negeri dan pihak swasta juga terbukti mampu untuk menyelesaikan beberapa permasalahan yang berhubungan dengan kemiskinan. Karena permasalahan kemiskinan ini tidak dapat diselesaikan  hanya dengan pemberian uang dan pertumbuhan ekonomi, maka pemerintah harus memahami dan merestrukturisasi lembaga-lembaga sosial sehingga pemerintah memiliki alasan yang jelas untuk melayani orang-orang yang tidak berdaya dengan memberikan layanan dan membuat strategi yang tepat. 

Comment

Leave a Reply

KANOPI FEB UI

Sekretariat Kanopi FEB UI Lantai 2 Student Centre Fakultas Ekonomi & Bisnis Universitas Indonesia Depok, 16424 – Indonesia

CONTACT US

Phone
+6285714337399

Email
[email protected]

© kanopi-febui.org - 2021

MANAGED BY BIRO PUBLIKASI DAN INFORMASI

<